Jumat, November 22, 2024
BerandaIndexHeadlineSelama Pandemi Jatim Hasilkan Ribuan Kilogram Limbah Medis, Hanya 165 Jasa Pengangkut...

Selama Pandemi Jatim Hasilkan Ribuan Kilogram Limbah Medis, Hanya 165 Jasa Pengangkut Yang Berizin

MOJOKERTO, Xtimenews.com – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy berkunjung ke pabrik pengelolaan limbah medis di Desa Lakardowo Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto, Selasa (16/2). Kunjungan ini guna meninjau langsung limbah medis yang kian meningkat selama pandemi COVID-19.

Menko PMK beserta rombongan langsung masuk kedalam area pengelolaan limbah medis dengan memakai pakaian APD lengkap di PT Pria pabrik pengelolaan limbah yang dulu sempat mendapatkan penolakan dari warga sekitar.

Dalam rilis yang diterima, data Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan di era pandemi COVID-19 jumlah produksi limbah medis di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) meningkat tajam, potensi peningkatan timbunan limbah medis akibat penggunaan alat pelindung diri (APD) mencapai 3-4 kali dari jumlah sebelumnya.

Menko PMK Muhadjir Effendy meminta daerah fokus dalam menangani masalah limbah medis, terutama dari fasyankes.

“Meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19 mengakibatkan bertambahnya jumlah limbah medis fasyankes. Namun demikian, faktanya belum banyak rumah sakit yang memiliki pengolahan limbah on-site,” ujarnya saat mengunjungi PT PRIA, tempat pengelolaan limbah di Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (16/2).

Padahal, ungkap Muhadjir, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tegas mengatur bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3.

Apabila setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan ke pihak lain dan wajib mendapatkan izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Bila pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan, UU tersebut juga mengatur ketentuan pidana dalam bentuk pidana penjara dan denda.

“Ini penting karena dampak dari pengelolaan limbah medis yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan, termasuk dampak kesehatan seperti tertusuk benda tajam, hepatitis, bahkan HIV,” cetus Menko PMK.

Ia pun menerangkan pada dasarnya ada empat prinsip pengolahan limbah B3. Pertama, semua penghasil limbah secara hukum dan finansial bertanggung jawab menggunakan metode pengelolaan limbah yang aman dan ramah lingkungan.

Kedua, mengedepankan kewaspadaan tinggi. Lebih lanjut untuk prinsip ketiga dan keempat spesifik khusus limbah Covid-19 yaitu mengatur prinsip kesehatan dan keselamatan serta prinsip kedekatan dalam penanganan limbah berbahaya untuk meminimalkan risiko pada pemindahan.

Muhadjir mengungkap secara umum kondisi pengelolaan limbah medis di Indonesia masih menghadapi tantangan. Mulai dari aspek regulasi, kapasitas pengolahan, peran pemerintah daerah, koordinasi antar lembaga, SDM, sarana prasarana, perizinan, peran swasta, dan pembiayaan.

Ia menyebut, kapasitas pengolahan limbah medis belum memadai baik dari segi jumlah maupun sebaran yang tidak merata. Jumlah fasyankes yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin atau insenerator saat ini baru berjumlah 120 RS dari 2.880 RS dan hanya 5 RS yang memiliki autoclave.

Padahal, seharusnya semua provinsi mempunyai alat pengolah limbah medis di daerahnnya. Sehingga demikian, penanganan limbah medis dapat diselesaikan di setiap daerah dengan konsep pengelolaan limbah medis berbasis wilayah sesuai amanat Permenkes No. 18/2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes Berbasis Wilayah.

Untuk Provinsi Jawa Timur, data tahun 2020 menyebutkan dari total limbah medis yang dihasilkan sebanyak 34.891,940 kilogram, kapasitas pengolahan di fasyankes hanya 6.864 kilogram.

Di samping itu, masalah pengangkutan menghadapi tantangan karena jasa pengangkutan yang ada hanya sebanyak 165 jasa pengangkutan berizin. Kondisi tersebut, menyebabkan pengangkutan belum dapat menjangkau semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya fasyankes di daerah Indonesia timur dan daerah terpencil, kepulauan.

Kondisi demikian diperparah dengan timbulan limbah medis yang ditaksir meningkat akibat penggunaan APD selama pandemi Covid-19. Bukan hanya itu, belum banyak juga rumah sakit yang memiliki pengolahan limbah on-site, potensi risiko infeksi petugas pengelola limbah medis dan daur ulang illegal, biaya pengolahan limbah medis yang meningkat, serta belum meratanya informasi teknologi penanganan limbah Covid-19 yang tepat di masyarakat dan tenaga kesehatan di daerah terpencil.

“Kondisi fasilitas pengolahan yang terbatas inilah yang menyebabkan pengelolaan limbah di daerah khususnya luar Pulau Jawa mengalami kendala dan harus segera kita benahi,” pungkasnya.(den/gan)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments