Penulis: Didik Firdiyanto
Lamongan,Xtimenews.com – Kita semua tahu betapa meriahnya sedekah bumi di banyak desa. Hampir setiap tahun, warga begitu semangat menyisihkan dana, membuat pawai karnaval, hingga menyusun gunungan berisi sayur-mayur, buah, makanan pabrikan, bahkan pakaian.
Jalanan penuh sorak sorai, UMKM ikut kecipratan rezeki, penjual makanan, jasa rias, sewa busana, sampai sound system laku keras. Rasanya, tidak ada yang bisa menandingi euforia masyarakat saat merayakan tradisi ini.
Tapi mari jujur sejenak. Apakah semangat yang sama kita curahkan dalam urusan yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari: pengelolaan sampah? Nyatanya, tidak.
Sampah menumpuk di sungai, plastik berceceran di selokan, bak sampah penuh tanpa terpilah bahkan di tempat tertentu jadi tempat sampah ‘tiban’ alias tiba-tiba saja sampah numpuk gak karuan. Padahal, kita semua tahu, kerusakan lingkungan akibat sampah jauh lebih berbahaya dibandingkan manfaat ekonomi sesaat dari sebuah pesta rakyat.
Sedekah bumi pada hakikatnya adalah wujud syukur kita kepada Allah yang menganugerahkan bumi subur ini. Tapi rasa syukur itu mestinya tidak hanya diwujudkan dalam karnaval setahun sekali, melainkan dalam langkah nyata merawat bumi setiap hari.
Mari kita ingat, setiap barang yang kita konsumsi selalu meninggalkan sampah. Makan ada sampahnya, minum ada sampahnya, pakaian ada limbahnya, bahkan gadget pun menyisakan e-waste yang beracun.
Data global mencatat, dunia menghasilkan lebih dari 2 miliar ton sampah setiap tahun, dan akan naik menjadi 3,4 miliar ton pada 2050 jika tidak ada perubahan serius. Di Indonesia sendiri, timbunan sampah mencapai 35,9 juta ton pada tahun 2022, dengan plastik sebagai penyumbang terbesar. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah peringatan keras bahwa bumi kita sedang kelelahan menanggung ulah manusia.
Di sinilah kaidah fikih menjadi sangat relevan: _dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih_ – menolak kerusakan lebih wajib didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Sedekah bumi memang membawa maslahat sosial dan ekonomi, tetapi pengelolaan sampah membawa maslahat yang lebih besar dan mendasar: menjaga bumi agar tetap layak dihuni.
Maka, mari kita perluas makna sedekah bumi. Bukan hanya karnaval penuh warna dan meriah, tetapi juga kebiasaan kecil yang konsisten: memilah sampah di rumah, mengurangi plastik sekali pakai, mendukung daur ulang, hingga menginisiasi gerakan bersama, seperti membuat bank sampah desa atau lainnya. Inilah sedekah bumi yang paling nyata, yang tidak berhenti di jalanan desa, tapi hidup di keseharian kita. Karena bumi tidak hanya butuh kita rayakan, tapi bumi butuh kita rawat juga. _Wallahua’lam_( Ind)