MOJOKERTO, Xtimenews.com – Peraturan Bupati (Perbup) Mojokerto nomor 44 tahun 2020 tak berfungsi menghukum pelanggar protokol kesehatan COVID-19. Para pelanggar harus di adili menggunakan peraturan daerah (Perda).
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Mojokerto Tatang Marhaendrata mengatakan, dibutuhkan waktu dua pekan untuk menyusun Perbup nomor 44 tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Perbup ini pun disahkan Bupati Mojokerto Pungkasiadi dan mulai berlaku sejak 14 September 2020.
Menurut dia, Bagian Hukum bersama Satpol PP menyusun Perbup 44 untuk melaksanakan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19, serta Instruksi Mendagri nomor 4 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Peraturan Kepala Daerah dalam Rangka Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.
“Kami bahas bersama Satpol PP, setelah itu kami kirim ke Pemprov Jatim untuk difasilitasi. Butuh waktu sekitar dua minggu sampai Perbup disahkan,” kata Tatang, Kamis (17/9/2020).
Selain berisi ketentuan protokol kesehatan bagi perorangan dan pelaku usaha, Perbup 44 juga mengatur sanksi bagi para pelanggarnya. Sanksi dijabarkan di pasal 9. Yaitu pelanggar perorangan dihukum kerja sosial atau denda Rp 50.000. Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggungjawab fasilitas umum didenda Rp 100.000. Sedangkan pedagang kaki lima (PKL) atau lapak jajanan didenda Rp 75.000.
Namun sejak disahkan hingga saat ini, ketentuan sanksi pada Perbup 44 tidak berfungsi untuk menghukum para pelanggar protokol kesehatan. Baik untuk pelanggar perorangan maupun pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggungjawab fasilitas umum. Karena untuk mengadili para pelanggar, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto membutuhkan acuan Perda.
“Kalau menegakkan hukum dengan tipiring (tindak pidana ringan) melalui Operasi Yustisi, kami harus menggunakan Perda Jatim. Karena tidak boleh menegakkan hukum melalui Yustisi dengan pengadilan menggunakan Perbup. Ketentuannya diatur seperti itu. Makanya kami menggunakan Perda Jatim,” terang Tatang.
Oleh sebab itu, para pelanggar yang terjaring Operasi Yustisi karena tidak mematuhi protokol kesehatan di Kabupaten Mojokerto, selama ini dijerat dengan pasal 20A dan pasal 27C Perda Jatim nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan atas Perda Jatim nomor 1 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat. Pelanggar perorangan diancam sanksi denda Rp 500.000, sedangkan pelaku usaha maksimal Rp 1 juta.
Sementara Perbup Mojokerto nomor 44 tahun 2020 yang disusun Bagian Hukum bersama Satpol PP selama dua pekan, sampai saat ini tidak berfungsi untuk menghukum para pelanggar protokol kesehatan. Tatang berdalih, Pemkab Mojokerto tidak membuat Perda karena membutuhkan waktu yang lama untuk membuatnya. Terlebih lagi, pemerintah pusat hanya memerintahkan membuat peraturan kepala daerah, bukan Perda.
“Tentunya membuat Perda prosesnya panjang. Harus masuk prolegda, masuk DPRD, sementara dalam percepatan penanganan COVID-19 belum ada perintah membuat Perda,” ujarnya.
Dikonfirmasi terkait persoalan ini, Bupati Mojokerto Pungkasiadi mengaku sengaja tidak menggunakan Perbup nomor 44 tahun 2020 untuk menghukum para pelanggar protokol kesehatan. Karena jika menggunakan Perbup yang dia sahkan itu, dikhawatirkan akan menuai pro dan kontra di masyarakat. Oleh sebab itu, pihaknya berpedoman pada Perda Jatim nomor 2 tahun 2020.
“Ini kan ada dendanya, artinya harus Perda yang melaksanakan. Perbup kalau ada dendanya nanti malah pro dan kontra belum jelas. Makanya kami memakai Perda Jatim nomor 2 tahun 2020 agar sandarannya jelas,” jelasnya.
Senada dengan Tatang, Pungkasiadi berdalih terlalu lama jika harus membuat Perda Kabupaten Mojokerto untuk menegakkan hukum pelanggaran protokol kesehatan. “Sebenarnya kami sudah berunding, kecepatan sangat dibutuhkan. Kalau saya menunggu Perda kabupaten, penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana. Makanya kami akan lebih cepat melaksanakan ini dengan memakai Perdanya Jatim,” tegasnya.
Meski berpedoman pada Perda Jatim, sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan tetap disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Mojokerto. Denda yang dijatuhkan hakim dalam sidang tipiring Operasi Yustisi terhadap para pelanggar pun sangat ringan. Yakni hanya Rp 25.000 per orang.
“Pertimbangan kami melihat keadaan dan kemampuan masyarakat. Kami bukan mengambil keuntungan dari masyarakat, tapi pembinaan supaya masyarakat mau tertib melaksanakan protokol kesehatan,” tandas Wakil Ketua PN Mojokerto Asep Koswara.(den/gan)