SURABAYA, Xtimenews.com – Sidang gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dengan nomor perkara TUN 123/G/2020/PTUN, SBY, yang dilayangkan Direktur Utama CV. Pandu Putra Majapahit , Mohammad Agus Fauzan terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP ) Kota Mojokerto dan Walikota Mojokerto , kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Kamis (15/10/2020).
Dalam persidangan dengan agenda keterangan saksi ahli, pihak penggugat CV. Pandu Putra Majapahit, menghadirkan dua saksi fakta dan satu saksi ahli hukum administrasi negara Dr. Ima Mayasari, S.H., M.H, yang juga dosen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Ima dalam kesaksiannya menjelaskan, sengketa gugatan CV. Pandu Putra Majapahit kepada Satpol PP dan Walikota Mojokerto sudah tepa, sebab badan hukum tersebut merasa diperlakukan tidak adil atau dirugikan oleh keputusan maupun tindakan tata usaha negara (TUN) yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintah.
Ditandaskan Ima, moratorium yang dilakukan oleh Walikota Mojokerto merupakan kebijakan pemerintah daerah namun dilakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam hal ini tindakan Walikota Mojokerto menerbitkan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tentang Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame yang kemudian diperpanjang dengan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tertanggal 22 Juli 2019 adalah Tindakan Pemerintahan.
“Dengan demikian perbuatan melawan hukum oleh Walikota Mojokerto dalam menerbitkan Instruksi Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame merupakan tindakan pemerintahan, sehingga menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadili berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” katanya.
Dalam pendapat hukumnya, dosen yang memiliki keahlian dalam bidang hukum administrasi negara, governansi (tata kelola), reformasi regulasi, kebijakan publik ini menyebut, bahwa tidak terdapat dasar hukum yang menjadi landasan diterbitkannya moratorium dalam Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tentang Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame yang kemudian diperpanjang dengan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tertanggal 22 Juli 2019.
“Instruksi Walikota ini diterbitkan dalam rangka menjamin terselenggaranya perizinan reklame yang tertib di Kota Mojokerto, dimana Walikota Mojokerto memberikan instruksi kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Mojokerto untuk melaksanakan moratorium izin penyelenggaraan reklame di Kota Mojokerto. Namun, tidak dijelaskan alasan mengapa dilaksanakan moratorium izin penyelenggaraan reklame,” terangnya.
“Meskipun dilakukan dilakukan moratorium izin penyelenggaraan reklame namun masih diberikan izin bagi pemasangan reklame insidentil. Ini kontradiktif,” tandasnya.
Dengan demikian, lanjutnya, terdapat ketidakkonsistenan antara judul Instruksi Walikota Mojokerto dengan batang tubuh atau substansi yang masih memberikan izin penyelenggaraan reklame,” urai doktor ilmu administrasi negara UI tersebut.
Disebut Ima, dalam Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 90 Tahun 2015, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklame, kategori reklame insidentil adalah reklame yang mendapatkan izin tertulis untuk penyelenggaraan reklame yang berlaku kurang dari satu tahun.
Namun dalam prakteknya, banyak terjadi pelanggaran ketertiban reklame insidentil dibandingkan dengan reklame tetap terbatas.
“Dilihat dari persyaratan izin pemasangan reklame tetap terbatas baru lebih rigid, dibandingkan dengan izin pemasangan reklame insidentiil, serta pelanggaran ketidaktertiban lebih banyak dilakukan oleh jenis reklame insidentiil dibandingkan dengan jenis reklame tetap terbatas,” cetusnya.
Ia menilai, terdapat ketidaksesuaian antara penerbitan Instruksi Walikota Mojokerto tentang moratorium izin penyelenggaraan reklame dengan Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 90 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklame.
“Seharusnya Walikota memberikan perlakuan yang sama atau setara terhadap semua jenis reklame yaitu reklame tetap terbatas dan reklame insidentil. bukan kemudian menggunakan frasa moratorium izin penyelenggaraan reklame secara umum, namun isinya tidak memberikan moratorium kepada reklame insidentil,” cetusnya.
Dikatakan Ima, dalam Kasus ini CV. Pandu Putra Majapahit telah melakukan permohonan perpanjangan izin penyelenggaraan reklame pada tanggal 23 Desember 2019 akan tetapi ditolak dengan alasan menunggu Peraturan Walikota yang baru, kemudian pada tanggal 9 Januari 2020 CV. Pandu Putra Majapahit mendapat surat tagihan pembayaran pajak.
“Akan tetapi ketika CV. Pandu Putra Majapahit ingin melakukan pembayaran ada penolakan kembali. Dalam hal diajukan perpanjangan izin penyelenggaraan reklame maka hal ini seharusnya diproses bukan malah ditolak dengan alasan menunggu Peraturan Walikota yang baru.
Dalam hal demikian maka menimbulkan administrasi pemerintahan yang penyelenggaraannya menyimpang dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan peraturan pelaksanaannya.
Maka ketika ada instruksi moratorium oleh Walikota Mojokerto, kemudian serta merta Satpol PP Kota Mojokerto melakukan penertiban terhadap reklame milik CV. Pandu Putra Majapahit ketika terdapat permohonan perpanjangan izin dari CV Pandu Putra Majapahit kepada Pemerintah Kota Mojokerto, hal itu jelas tidak menghormati hak-hak yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam Kasus ini, kata Ima lebih lanjut, dengan adanya moratorium yang dilakukan oleh Walikota Mojokerto, yang kemudian mengakibatkan CV. Pandu Putra Majapahit tidak dapat melakukan perpanjangan Izin, kemudian ini dijadikanlah kesempatan oleh Satpol PP Kota Mojokerto untuk melakukan Penertiban terhadap reklame milik CV. Pandu Putra Majapahit yang dianggap ilegal.
“Dalam hal demikian maka pelaku usaha tidak memiliki jaminan kepastian hukum, karena konteks pajak daerah melihat lebih kepada aspek pemanfaatan dari reklame tersebut yang perlu dibayar oleh wajib pajak,” ungkapnya.
“Seharusnya di masa moratorium menyiapkan langkah strategis untuk perubahan Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 90 Tahun 2015 tentang tata cara penyelenggaraan reklame bukan malah melakukan pembongkaran reklame, dimana pelaku usaha tidak dapat memperpanjang izin karena sedang dimoratorium,” cetusnya.
Sidang gugatan berawal dari tindakan hukum pembongkaran media reklame milik CV.
Pandu Putra Majapahit oleh Satpol PP Kota Mojokerto dan moratorium (penundaan perpanjangan dan/atau pemberian izin baru) terhadap penyelenggaraan reklame oleh Walikota Mojokerto.
Melalui kuasa hukumnya, Iwut Widiantoro, SH dan rekan, Direktur Utama CV. Pandu Putra Majapahit, Mohammad Agus Fauzan menggugat dan meminta majelis hakim PTUN Surabaya menyatakan tindakan pembongkaran reklame oleh Tergugat I Satpol PP Kota Mojokerto merupakan tindakan yang tidak sah menurut hukum, dan merupakan tindakan Sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3 huruf a Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Serta menyatakan tindakan administrasi yang di lakukan oleh Tergugat II Walikota Mojokerto, merupakan tindakan administrasi yang tidak berdasar dengan hukum.
Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum Onrechmatige Overheidsdaad (DOD). Menghukum para tergugat untuk membayar kerugian materil yang dialami Penggugat sebesar Rp. 3.650.000.000,-.
Sidang kali ini, merupakan sidang yang ke delapan. Sidang pertama digelar 27 Agustus 2020. (red)