MOJOKERTO, Xtimenews.com – Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren (ponpes) Mamba’ul Ulum Desa Awang-awang, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto setelah dinyatakan berkas lengkap (P21).
Barang bukti dan pelaku anak, WN (17) dilimpahkan penyidik Polres Mojokerto ke penyidik Kejari Kabupaten Mojokerto, Rabu (4/9/2019) sekira pukul 10.00 WIB. Pelaku anak menjalani pemeriksaan di lantai II ruang Pidana Umum (Pidum) untuk selanjutnya dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIB Mojokerto.
Kasi Pidum Kejari Kabupaten Mojokerto, Arie Satria mengatakan, pelaku anak, WN (17) ditahan untuk 5 hari kedepan. “Pelaku dan korban sama-sama masih anak. Kita lihat di persidangan (penganiayaan berujung meninggalnya korban ada kesengajaan apa tidak, red),” ungkapnya.
Kasi Pidum menegaskan, terkait penyebab kematian korban akan dilihat di fakta persidangan. Menurutnya, reka adegan, rekontruksi dan hasil visum sudah ada sehingga tak butuh lama pihaknya melimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.
“Tinggal kita menyelesaikan administrasi saja, besok paling lambat. Setelah itu, kita limpahkan ke PN,” katanya.
Pelaku dijerat Pasal 80 ayat 3 jo Pasal 76c Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Undang-undangan Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp3 milyar.
Sementara itu, kuasa hukum pelaku anak, Hamidah Anam Anis mengatakan, tidak ada unsur kesengajaan dalam penganiayaan yang menyebabkan AR (16) tewas pada, Senin (19/8/2019) sekitar pukul 23.00 WIB lalu. “Klien kami, tidak pernah melakukan pemukulan sebelumnya dan baru kali ini,” ujarnya.
Aksi penganiayaan yang dilakukan WN dengan alasan karena korban sering melanggar aturan ponpes yakni keluar malam tanpa seizin pengurus. Dari keterangan pelaku anak, lanjut Hamidah, sanksi sampai adanya pemukulan tidak pernah ada di Ponpes Mamba’ul Ulum.
“Tidak ada, sanksi bagi santri yang melanggar dihukum dengan cara dipukul. Itu hanya bentuk kejengkelan pelaku terhadap korban,” pungkas Ketua Lembaga Pendampingan Perempuan dan Anak (LPPA) Bina Anisa Mojokerto.(den/gan)